Rabu, 20 Januari 2010

Upacara Dalam Agama Hindu

SEMUA ajaran yang menjiwai kehidupan beragama Hindu dinafasi oleh semangat ajaran Weda. Agar penerapan dharma sebagai kebenaran itu sukses, harus diterapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan. Ada lima pertimbangan yaitu : Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa.

Iksa merupakan tujuan pasti atau cita-cita seseorang; Sakti merupakan kemampuan seseorang atau masyarakat; Desa yaitu disesuaikan dengan keadaan masyarakat dengan menerapkan nilai-nilai Weda; Kala yaitu berkaitan dengan waktu saat membuat dan melaksanakan upacara harus mencari waktu baik (hala-hayu dewasa) dan waktu saat nilai-nilai weda di terapkan; serta Tattwa merupakan kebenaran weda sebagai prinsif dasar yang tidak boleh dilanggar yang merupakan jiwa dari semua kreasi dan tradisi terealisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Upakara atau banten yang kita buat harus mempunyai tujuan yang pasti kemudian disesuaikan dengan kemampuan yang bersangkutan atau masyarakat dan keadaan wilayah yang bersangkutan dengan tidak menyimpang dari ajaran weda; banten juga disesuaikan dengan waktu yang tepat sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Yang tak kalah pentingnya lagi adalah Tattwa (kebenaran). Semua banten yang kita buat, banten apa pun itu namanya, hendaknya disesuaikan dengan ucap sastra atau kitab suci untuk mencapai kebenaran yang hakiki.

Upacara agama Hindu sebagai suatu wujud acara yang merupakan salah satu unsur dari Tri Kerangka Agama Hindu yang bertujuan untuk mentradisikan ajaran Weda. Dengan Tattwa sebagai intinya atau jiwanya dan susila sebagai landasan moral dalam pelaksanaannya atau penggarapannya yang ketiganya ini dibaratkan sebagai sebutir telur. Dengan upacara sebagai kulit luarnya, etika sebagai putihnya dan Tattwa sebagai kuningnya. Bila ketiga unsur ini berfungsi dengan baik, maka telur akan menetas dengan sempurna. Demikian pula halnya dengan kerangka agama Hindu ini, bila ketiga unsurnya berfungsi dengan baik, sudah pasti kebenaran agama akan terwujud. Jika kita melihat arti dari upacara itu sendiri, maka upacara yang merupakan salah satu pelaksanaan dari yadnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan. Sementara upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan tangan. Upacara yang kita laksanakan sebagai tradisi ini melahirkan budaya simbol (Nyasa) yang kaya akan makna filosofis.

Sebelum kita mengerjakan banten, kita harus mengetahui pengertian dari banten itu sendiri. Dalam Lontar Yadnya Prakerti Banten memiliki tiga arti sebagai bahasa simbol ritual yang sacral: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara, Pinaka Anda Bhuvana. Yaitu
:

  1. Banten itu merupakan perwujudan dari keinginan atau pikiran menusia. Banten diibaratkan sebagai manusia yang terdiri dari kepala, badan, kaki, ada jiwa, pikiran dan jasmani.
  2. Banten merupakan simbul-simbul dari sinar suci Tuhan dalam manifestasi-Nya.
  3. Banten dapat melambangkan dunia beserta isinya.

Jadi Banten merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Banten tidak akan mempunyai pahala apa-apa bila dalam pengerjaannya tidak dilandasi dengan ketulus ikhlasan, pikiran dipenuhi kebencian; tidak tahu kemana tujuannya dan apa fungsi banten itu, lebih-lebih lagi tidak sesuai dengan petunjuk kitab suci agama/Veda. Didalam banten selalu ada unsur Rwa Bineda yaitu unsur Purusa dan Pradhana sebagai unsur utama kehidupan.

Banten berfungsi sebagai :

  1. Banten sebagai persembahan dan tanda terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi.
  2. Bantuan sebagai alat penyucian.
  3. Sebagai alat konsentrasi pikiran untuk memuja Tuhan.

Semua ajaran yang menjiwai kehidupan beragama Hindu dinafasi oleh semangat ajaran Weda. Agar penerapan dharma sebagai kebenaran itu sukses, harus diterapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan. Ada lima pertimbangan yaitu : Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa.

Iksa merupakan tujuan pasti atau cita-cita seseorang; Sakti merupakan kemampuan seseorang atau masyarakat; Desa yaitu disesuaikan dengan keadaan masyarakat dengan menerapkan nilai-nilai Weda; Kala yaitu berkaitan dengan waktu saat membuat dan melaksanakan upacara harus mencari waktu baik (hala-hayu dewasa) dan waktu saat nilai-nilai weda di terapkan; serta Tattwa merupakan kebenaran weda sebagai prinsif dasar yang tidak boleh dilanggar yang merupakan jiwa dari semua kreasi dan tradisi terealisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Upakara atau banten yang kita buat harus mempunyai tujuan yang pasti kemudian disesuaikan dengan kemampuan yang bersangkutan atau masyarakat dan keadaan wilayah yang bersangkutan dengan tidak menyimpang dari ajaran weda; banten juga disesuaikan dengan waktu yang tepat sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Yang tak kalah pentingnya lagi adalah Tattwa (kebenaran). Semua banten yang kita buat, banten apa pun itu namanya, hendaknya disesuaikan dengan ucap sastra atau kitab suci untuk mencapai kebenaran yang hakiki.

Upacara agama Hindu sebagai suatu wujud acara yang merupakan salah satu unsur dari Tri Kerangka Agama Hindu yang bertujuan untuk mentradisikan ajaran Weda. Dengan Tattwa sebagai intinya atau jiwanya dan susila sebagai landasan moral dalam pelaksanaannya atau penggarapannya yang ketiganya ini dibaratkan sebagai sebutir telur. Dengan upacara sebagai kulit luarnya, etika sebagai putihnya dan Tattwa sebagai kuningnya. Bila ketiga unsur ini berfungsi dengan baik, maka telur akan menetas dengan sempurna. Demikian pula halnya dengan kerangka agama Hindu ini, bila ketiga unsurnya berfungsi dengan baik, sudah pasti kebenaran agama akan terwujud. Jika kita melihat arti dari upacara itu sendiri, maka upacara yang merupakan salah satu pelaksanaan dari yadnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan. Sementara upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan tangan. Upacara yang kita laksanakan sebagai tradisi ini melahirkan budaya simbol (Nyasa) yang kaya akan makna filosofis.

Sebelum kita mengerjakan banten, kita harus mengetahui pengertian dari banten itu sendiri. Dalam Lontar Yadnya Prakerti Banten memiliki tiga arti sebagai bahasa simbol ritual yang sacral: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara, Pinaka Anda Bhuvana. Yaitu :

  1. Banten itu merupakan perwujudan dari keinginan atau pikiran menusia. Banten diibaratkan sebagai manusia yang terdiri dari kepala, badan, kaki, ada jiwa, pikiran dan jasmani.
  2. Banten merupakan simbul-simbul dari sinar suci Tuhan dalam manifestasi-Nya.
  3. Banten dapat melambangkan dunia beserta isinya.

Jadi Banten merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Banten tidak akan mempunyai pahala apa-apa bila dalam pengerjaannya tidak dilandasi dengan ketulus ikhlasan, pikiran dipenuhi kebencian; tidak tahu kemana tujuannya dan apa fungsi banten itu, lebih-lebih lagi tidak sesuai dengan petunjuk kitab suci agama/Veda. Didalam banten selalu ada unsur Rwa Bineda yaitu unsur Purusa dan Pradhana sebagai unsur utama kehidupan.

Banten berfungsi sebagai :

  1. Banten sebagai persembahan dan tanda terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi.
  2. Bantuan sebagai alat penyucian.
  3. Sebagai alat konsentrasi pikiran untuk memuja Tuhan.**

Perkembangan Pariwisata Bali


Kalau pada zaman Romawi orang melakukan perjalanan wisata karena kebutuhan praktis, dambaan ingin tahu dan dorongan keagamaan, maka pada zaman Hindu di Nusantara / Indonesia khususnya di Bali telah terjadi pula perjalanan wisata karena dorongan keagamaan. Perjalanan Rsi Markandiya sekitar abad 8 dari Jawa ke Bali, telah melakukan perjalanan wisata dengan membawa misi-misi keagaman. Demikian pula Empu Kuturan yang mengembangkan konsep Tri Sakti di Bali datang sekitar abad 11 kemudian Dang Hyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rawuh) pada abad ke 16 datang ke Bali sebagai misi keagamaan dengan titik berat pada konsep Upacara. Perjalanan wisata internasional di Bali telah dimulai pada permulaan abad 20 dimana sebelumnya bahwa Bali diketemukan oleh orang Belanda tahun 1579 yaitu oleh ekspedisi (Cornellis de Houtman) dalam perjalanannya mengelilingi dunia untuk mencari rempah-rempah lalu sampai di Indonesia. Dari Pulau Jawa misi tersebut berlayar menuju ke Timur dan dari kejauhan terlihatlah sebuah pulau yang merimbun. Dikiranya pulau tersebut menghasilkan rempah-rempah. Setelah mereka mendarat, mereka tidak menemukan rempah-rempah. Hanya sebuah kehidupan dengan kebudayaannya yang menurut pandangan mereka sangat unik, tidak pernah dijumpai di tempat lain yang dikunjungi selama mereka mengelilingi dunia, alamnya sangat indah dan mempunyai magnet/daya tarik tersendiri. Pulau ini oleh penduduknya dinamakan Bali. Inilah yang mereka laporkan kepada Raja Belanda pada waktu itu. Kemudian pada tahun 1920 mulailah wisatawan dari Eropa datang ke Bali. Hal ini terjadi berkat dari kapal-kapal dagang Belanda yaitu KPM (Koninklijke Paketcart Maatsckapy) yang dalam usahanya mencari rempah-rempah ke Indonesia dan juga agar kapal-kapal tersebut mendapat penumpang dalam perjalanannya ke Indonesia lalu mereka memperkenalkan Bali di Eropa sebagai (the Island of God) Dari para wisatawan Eropa yang mengunjungi Bali terdapat pula para seniman, baik seniman sastra, seniman lukis maupun seniman tari. Dalam kunjungan berikutnya banyak para seniman tersebut yang menulis tentang Bali seperti : Seniman Sastra Dr Gregor Krause adalah orang Jerman yang dikirim ke Wetherisnds East Idies (Indonesia) bertugas di Bali pada tahun 1921 yang ditugaskan untuk membuat tulisan-tulisan dan foto-foto mengenai tata kehidupan masyarakat Bali. Bukunya telah menyebar ke seluruh Dunia pada tahun 1920 yang bersangkutan tinggal di Bangli. Miguel Covarrubias dengan bukunya the Island of Bali tahun 1930 Magaret Mead Collin Mc Phee Jone Bello Mrs Menc (Ni Ketut Tantri) dengan bukunya Revolt In Paradise Roelof Goris dengan bukunya Prasasti Bali menetap di Bali tahun 1928 Lovis Conperus (1863-1923) dengan bukunya Easwords (Melawat ke Timur) memuji tentang Bali terutama Kintamani. Seniman Lukis R. Bonet mendirikan museum Ratna Warta Walter Spies bersama Tjokorde mendirikan yayasan Pita Maha. Disamping dikenal sebagai pelukis ia juga mengarang buku dengan judul Dance dan Drama in Bali. Pertama kali ke Bali tahun 1925. Arie Smith yang membentuk aliran young artist Le Mayeur orang Belgia mengambil istri di Bali tinggal di Sanur tahun 1930 dengan Museum Le Mayeur di Bali 5. Mario Blanco orang Spanyol juga seorang pelukis beristrikan orang Bali dan menetap di Ubud. Dan banyak lagi seniman baik asing maupun Nusantara disamping menetap, mengambil obyek baik lukisan maupun tulisan mengenai Bali. Dan tulisan-tulisan mengenai Bali mulai tahun 1920 sudah menyebar keseluruh Eropa dan Amerika. Para Wisatawan asing yang sudah pernah ke Bali lalu menceritakan pengalaman kunjungannya selama di Bali kepada teman-temannya. Penyebaran informasi mengenai Bali baik karena tulisan-tulisan tentang Bali maupun cerita dari mulut ke mulut menyebabkan Bali dikenal di manca negara. Bahkan sampai saat ini nama Bali masih lebih dikenal umum dibandingkan dengan nama Indonesia di mancanegara. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka penyebaran informasi mengenai daerah tujuan wisata (DTW). Bali selalu mengutamakan nama Indonesia, baik itu penyebaran informasi melalui brosur-brosur maupun pada pameran-pameran yang diadakan di negara asing. Sehingga dengan demikian diharapkan nama Indonesia lebih dikenal dan dipahami bahwa Bali adalah salah satu propinsi yang ada di Indonesia dan merupakan bagian dari Indonesia, bukan sebaliknya. Untuk menampung kedatangan wisatawan asing ke Bali maka pada tahun 1930 didirikanlah hotel yang pertama di Bali yaitu Bali Hotel yang terletak di jantung kota Denpasar, disamping itu juga ada sebuah pesanggrahan yang terletak di kawasan wisata Kintamani. Pesanggrahan sangat strategis untuk dapat melihat pemandangan alam Kintamani yang unik dan mempunyai daya tarik tersendiri di mata wisatawan, bahkan pesanggrahan tersebut sangat strategis untuk menyaksikan saat Gunung Batur meletus maupun mengeluarkan asap. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, saat Gunung Batur meletus banyak roh-roh halus menyebar di sekitar Kintamani, karena itu masyarakat setempat membuat upacara agar ketentraman Desa terpelihara. Pada saat Gunung Batur meletus pada tahun1994 yang lalu kawasan Kintamani makin banyak dikunjungi wisatawan yang ingin menyaksikan atraksi kegiatan Gunung Batur. Dan masyarakat setempat pun kebagian rezeki dari kunjungan tersebut. Nama Bali makin terkenal setelah pada tahun 1932 rombongan Legong Peliatan melanglang buana ke Eropa dan Amerika atas prakarsa orang-orang asing dan pada tahun berikutnya makin banyak saja seni tari Bali yang diajak melanglang buana ke mancanegara. Selama pementasan selalu pertunjukan tersebut mendapat acungan jempol. Makin terkenalnya nama Bali di mancanegara, kunjungan wisatawan asing makin banyak datang ke Bali. Berbagai julukan diberikan kepada Bali antara lain : The Island of Gods The Island of Paradise The Island of Thousand Temples The Morning of The World oleh Pandit Jawahral Nehru The Last Paradise on Earth dan lain sebagainya. Kesemarakan Pariwisata Bali pernah terhenti karena meletusnya Perang Dunia I tahun 1939 - 1941 dan Perang Dunia II tahun 1942-1945 dan dilanjutkan dengan Revolusi Kemerdekaan RI tahun 1942-1949. Baru pada tahun 1956 kepariwisataan di Bali dirintis kembali. Pada tahun 1963 didirikan Hotel Bali Beach (Grand Bali Beach sekarang) dan diresmikan pada bulan November 1966. Hotel Bali Beach (Grand Bali Beach) mempunyai sejarah tersendiri dimana merupakan satu-satunya hotel berlantai 9 (sembilan) tingginya lebih dari 15 meter. Hotel ini dibangun sebelum ada ketentuan bahwa bangunan di Bali maksimal tingginya 15 meter, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kdh. Tk. I Bali tanggal 22 November 1971 Nomor 13/Perbang. 1614/II/a/1971. Isinya antara lain bahwa bangunan di Daerah Bali tingginya maksimal setinggi pohon kelapa atau 15 meter. Hotel Bali Beach dibangun atas biaya dari rampasan perang Jepang. Hotel tersebut pernah terbakar pada tanggal 20 Januari 1993, pada saat hotel tersebut terbakar terjadi keanehan yaitu kamar nomor 327, satu-satunya kamar yang tidak terbakar sama sekali. Setelah Hotel Bali Beach diresmikan pada bulan November 1966 maka bulan Agustus 1969 diresmikan Pelabuhan Udara Ngurah Rai sebagai pelabuhan internasional. Kepariwisataan di Bali dilaksanakan secara lebih intensif, teratur dan terencana yaitu ketika dimulai dicanangkan Pelita I pada April 1969.